The Shattered Light-Chapter 10: – Senyap di Bawah Cahaya
Chapter 10 - – Senyap di Bawah Cahaya
Foll𝑜w current novels on fɾēewebnσveℓ.com.
Senja mulai membalut desa Rothern ketika Kaelen dan kelompoknya menyelinap masuk melalui jalur irigasi yang sempit. Air dingin merendam hingga lutut mereka, membekukan tulang, namun tak satu pun bersuara. Hanya desiran arus dan detak jantung yang terdengar di kepala masing-masing. Bau tanah basah bercampur anyir samar membuat mereka semakin waspada.
Serina berbisik pelan, nyaris tak terdengar. "Darek, kau yang paham jalur ini. Bawa kami ke rumah tua yang kau sebut."
Darek mengangguk dan mulai bergerak di depan. Kaelen mengamati sekeliling. Cahaya obor dari pos penjagaan menerangi sebagian jalanan desa, menciptakan bayangan yang menari di dinding-dinding rumah. Terdengar samar suara tawa prajurit di kejauhan, seolah mengejek ketakutan yang membelenggu penduduk desa.
"Kita hampir sampai," bisik Darek.
Saat mereka keluar dari saluran air, tubuh Kaelen menegang. Udara malam terasa lebih berat. Suara langkah sepatu logam di atas tanah terdengar semakin jelas. Dua prajurit Cahaya berjalan santai, berbincang pelan.
"Berapa lama kita harus berjaga di desa busuk ini?" keluh salah satunya.
"Sampai mereka memastikan tak ada sisa Bayangan Malam yang berkeliaran. Pemimpin ingin hasil. Katanya, mereka mendapat laporan ada gerakan di hutan utara," sahut yang lain.
Kaelen saling pandang dengan Serina. Mereka tahu, keberadaan mereka hampir terendus.
Lyra menahan napas di samping Kaelen. Matanya dipenuhi kecemasan sekaligus amarah. Perasaan kehilangan orang-orang terdekatnya kembali menyala di benaknya. Kaelen meliriknya sejenak, mulai menyadari betapa dalam luka yang Lyra sembunyikan di balik sorot matanya.
"Cepat," bisik Varrok dengan nada tegas.
Mereka merayap di antara bayangan rumah-rumah, hingga tiba di sebuah rumah tua yang nyaris roboh. Darek memberi isyarat agar mereka masuk.
Di dalam, rumah itu gelap dan berbau apek. Serina mengintip dari celah dinding. Tidak ada tanda kehidupan. Suara angin yang menyusup di sela papan membuat suasana semakin mencekam.
"Apa mereka sudah pergi...?" bisik Lyra, suaranya nyaris patah.
Darek menggeleng. "Tidak... aku yakin mereka di sini."
Tiba-tiba, sebuah suara pelan terdengar dari sudut ruangan. "Siapa di sana...?"
Kaelen segera menyiapkan pisaunya, namun Serina lebih cepat.
"Kami bukan musuh," ucap Serina perlahan. "Kami Bayangan Malam. Kami datang mencarimu."
Dari balik tumpukan kayu, muncul seorang lelaki dengan wajah penuh luka, diikuti seorang perempuan muda yang tampak lelah dan ketakutan.
"Kael... Aria..." suara Lyra bergetar.
"Lyra...? Kau hidup...?" lelaki itu, yang ternyata Kael, tampak tak percaya. Suaranya parau, seperti seseorang yang terlalu lama hidup dalam ketakutan.
Aria langsung berlari memeluk Lyra. Isak tangis tertahan pecah dalam keheningan rumah tua itu. Tubuh Aria gemetar, seakan beban kesendirian yang selama ini dipikulnya runtuh dalam pelukan itu.
Kaelen memperhatikan pemandangan itu. Untuk sesaat, ia merasakan kehangatan yang asing. Ia belum pernah memiliki momen seperti itu sejak kedua orang tuanya dibunuh. Matanya beralih pada Lyra yang tersenyum di antara air matanya. Ada sesuatu yang mengusik jiwanya, namun ia cepat mengalihkannya. Sekilas, Kaelen merasa sesuatu yang berbeda dalam dirinya saat melihat Lyra. Mungkin hanya sesaat, namun rasa itu nyata.
Serina menghela napas lega. Namun, ia tahu waktu mereka terbatas. Dalam benaknya, melihat Kaelen dan Lyra bersama menimbulkan perasaan aneh yang belum ia mengerti. Ia mengabaikannya, fokus pada misi.
"Kita harus keluar sebelum patroli menyadari sesuatu. Kita bicara lebih banyak nanti," kata Varrok dengan nada tegas, namun tetap rendah agar tak mengundang bahaya.
Kaelen berjaga di pintu. Matanya menyapu sekitar. Tidak ada tanda-tanda prajurit, tapi firasat buruk menyelimutinya. Ada sesuatu yang terasa salah, meski ia belum dapat menjelaskannya.
Saat mereka bersiap kembali ke irigasi, Kaelen berbisik, "Cepat. Aku rasa mereka akan kembali ke sini."
Serina menggenggam bahu Kael dan Aria. "Kita bawa kalian keluar dari sini. Bersiaplah. Tetap diam, apapun yang terjadi."
Kael mengangguk, meskipun sorot matanya penuh ketakutan.
Lyra berjalan di samping Kaelen. "Terima kasih," ucapnya lirih.
Kaelen hanya mengangguk. Kata-kata sulit keluar dari mulutnya, namun perasaan hangat itu tetap tinggal. Serina yang berjalan di belakang mereka memperhatikan interaksi itu. Hatinya mencubit, meski ia tak tahu kenapa.
Malam itu, tujuh bayangan menyelinap keluar dari rumah tua, melawan dingin, ketakutan, dan ancaman maut. Perlawanan yang tadinya rapuh mulai memiliki bentuk. Namun, dalam kegelapan, mata-mata Cahaya mungkin sudah mulai mengintai. Kaelen menoleh sejenak ke belakang, memastikan tak ada yang mengikuti. Namun, di antara kegelapan desa, ia sempat merasa melihat sepasang mata mengawasinya. Ia mengedipkan mata, namun sosok itu telah lenyap. Hanya malam yang menyelimuti.
Firasat buruk itu tidak hilang.