The Shattered Light-Chapter 19: – Jerat Tak Terlihat
Chapter 19 - – Jerat Tak Terlihat
Fajar menyingsing perlahan, mengusir kabut tipis yang menyelimuti mulut gua. Kaelen membuka mata, mendapati tubuhnya kaku karena udara dingin yang menusuk tulang. Di sekelilingnya, yang lain masih terlelap—kecuali Varrok yang sudah duduk bersandar pada batu besar, mengasah pedangnya dengan pelan. Suara gesekan logam terdengar lirih, berpadu dengan gemerisik dedaunan yang tertiup angin lembah.
Kaelen bangkit dan berjalan ke arahnya. "Tidurmu nyenyak?" tanya Kaelen lirih.
Varrok menyeringai kecil. "Tidur adalah kemewahan yang semakin sulit kita dapatkan."
Kaelen mengangguk, pandangannya menyapu ke arah hutan yang menghitam di kejauhan. Hari ini, mereka akan semakin masuk ke wilayah yang jarang dijamah manusia. Bahaya tak hanya datang dari Ordo Cahaya, tetapi juga dari alam liar dan makhluk-makhluk yang bersembunyi di dalamnya.
Saat yang lain mulai bangun, Lyra tampak lebih tenang dibanding malam sebelumnya, meski sesekali masih terlihat gelisah. Serina, sebaliknya, terlihat semakin menutup diri. Ia berbicara seperlunya saja, dan lebih banyak menundukkan wajahnya. Darek, Kael, dan Aria bersiap dengan senjata di tangan, seakan kelelahan tidak pernah menjadi alasan untuk lengah.
Perjalanan dilanjutkan. Langkah mereka makin pelan karena jalan setapak berubah menjadi medan bebatuan curam. Varrok memimpin, sesekali memberi isyarat berhenti ketika mendengar suara mencurigakan. Napas mereka pelan, dan percakapan pun nyaris nihil.
Di tengah perjalanan, Kaelen berjalan berdampingan dengan Lyra. "Kau merasa lebih baik?" tanya Kaelen pelan.
Lyra mengangguk. "Aku merasa lebih aman ketika bersamamu."
Kaelen tersenyum, tetapi ia merasakan pandangan Serina dari belakang. Tatapan yang sulit diartikan—antara marah, kecewa, dan mungkin juga sedih. Kaelen tahu, ada sesuatu yang mengganjal dalam hubungan mereka bertiga, tetapi ia belum punya keberanian untuk menghadapinya.
Tiba-tiba, Varrok mengangkat tangan. Semua berhenti. Di depan mereka terbentang tanah lapang dengan rumput liar tinggi. Sepintas terlihat biasa, tetapi Varrok berjongkok, meraba tanah dengan jarinya.
"Ini bukan tanah sembarangan... jebakan," bisiknya.
Kaelen memperhatikan lebih saksama. Ada jejak tali halus yang hampir tak terlihat, terhubung pada pancang-pancang kecil di antara rumput. Tanah lapang itu bukan tempat biasa—ini adalah ladang pembantaian yang dirancang untuk mereka yang ceroboh.
"Mereka sudah memperkirakan jalur kita," ucap Darek dengan nada geram.
"Tidak mungkin kita berbalik. Terlalu jauh," kata Varrok tegas.
"Kita lewati perlahan," usul Kaelen. "Aku akan di depan."
Varrok mengangguk. "Hati-hati. Jangan ada yang gegabah."
Kaelen melangkah hati-hati, diikuti yang lain. Setiap pijakan diperhitungkan dengan cermat. Napas mereka tertahan. Satu kesalahan kecil bisa memicu jerat maut. Angin yang berhembus seolah membawa bisikan maut.
Saat hampir mencapai ujung tanah lapang, Aria tersandung akar kecil. Kakinya menyentuh tali perangkap. Dalam sekejap, bunyi gemeretak terdengar. Busur otomatis tersembunyi di semak melepaskan panah beracun.
"Aria, awas!" teriak Darek.
Kaelen bergerak cepat, mendorong Aria ke tanah. Panah itu melesat, mengenai bahu Kaelen. Ia meringis, merasakan racun mulai menyebar. Tubuhnya langsung terasa panas dan kebas.
The source of this c𝓸ntent is freewebnøvel.coɱ.
"Kaelen!" seru Lyra panik.
Varrok segera menariknya ke tempat aman. Serina membuka kantong obat dan mengeluarkan ramuan penawar. "Tahan napas, ini akan perih."
Kaelen mengangguk. Racun panas menjalar di tubuhnya, tetapi ia menahan erangan. Serina mengoleskan ramuan ke luka, sementara Lyra memegang tangan Kaelen erat. Kaelen bisa merasakan jemari Lyra bergetar, antara cemas dan ketakutan.
"Kau selalu seperti ini... mengambil risiko untuk orang lain," ujar Lyra lirih.
Kaelen tersenyum samar, meski menahan nyeri. "Sudah tugasku."
Beberapa saat kemudian, rasa sakit mulai mereda. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Di kejauhan, tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi. Sosok berjubah gelap berdiri di balik pepohonan. Matanya tajam, penuh rasa ingin tahu. Ia mengamati mereka dengan seksama, seolah menghafalkan wajah-wajah itu. Lalu ia berbalik, menghilang ke dalam hutan tanpa suara.
Kaelen merasa dadanya masih panas karena racun, tetapi hatinya lebih panas karena kesadaran baru: musuh mereka lebih dekat dari yang mereka kira. Dan yang lebih menakutkan, musuh itu tampaknya tahu siapa mereka.