The Shattered Light-Chapter 21: – Luka yang Tak Terlihat
Chapter 21 - – Luka yang Tak Terlihat
Dua hari telah berlalu sejak pertemuan Kaelen dengan Eryon. Langit tetap kelabu, seolah alam turut merasakan ketegangan yang mulai merayapi hati mereka. Rombongan itu terus bergerak melewati hutan lebat, meninggalkan tebing berbahaya yang menjadi saksi pertarungan Kaelen dan Eryon. Namun, meski luka di tubuh Kaelen mulai sembuh, luka di hatinya justru semakin dalam.
Kaelen berjalan paling depan, berusaha menutupi kecamuk dalam dirinya. Rahangnya mengatup rapat, matanya tajam menatap ke depan, namun sorotnya menyiratkan ketegangan. Sesekali tangannya mengepal kuat, seakan berusaha menahan sesuatu yang bergejolak di dalam dadanya. Kemenangan kecil dalam duel itu tidak menghadirkan rasa puas, justru menumbuhkan keraguan baru. Ia tahu, Eryon belum menunjukkan seluruh kekuatannya—sama seperti dirinya yang menahan kekuatan gelap itu.
"Berhenti sebentar," suara Varrok membuyarkan pikirannya.
Mereka tiba di sebuah celah sempit yang menjadi gerbang alami menuju lembah tersembunyi. Varrok memberi isyarat untuk beristirahat. Serina segera menyiapkan air, sementara Darek membantu Kael dan Aria membuat perapian kecil.
Lyra duduk di dekat Kaelen. "Apa yang kau pikirkan?"
Kaelen menatapnya, sejenak ingin berkata jujur, tetapi ia menahan diri. "Aku hanya... memikirkan langkah kita selanjutnya."
Lyra meremas tangannya lembut. "Aku tahu kau kuat... Tapi kau juga manusia, Kaelen. Kau bisa berbagi beban dengan kami."
Kaelen tersenyum kecil, namun di hatinya ia sadar, ada bagian dari dirinya yang mungkin takkan pernah bisa ia bagi dengan siapa pun—kegelapan itu.
Malam menjelang. Udara semakin dingin, dan kabut turun menyelimuti lembah. Saat semua terlelap, Kaelen duduk berjaga di dekat api. Tatapannya kosong, tetapi telinganya waspada.
Serina menghampirinya. "Boleh aku duduk di sini?"
Kaelen mengangguk. Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, hanya ditemani suara api yang berderak.
"Aku melihatmu saat melawan Eryon," ucap Serina tiba-tiba. "Ada sesuatu... di matamu. Aku tahu kau menahan sesuatu."
Visit fгee𝑤ebɳoveɭ.cøm for the best novel reading experi𝒆nce.
Kaelen menegang. "Aku baik-baik saja."
Serina menatapnya tajam. "Kaelen, aku mungkin bukan Varrok, tapi aku tahu kau menyimpan sesuatu. Apa itu... tentang kekuatan yang kau sembunyikan?"
Kaelen terdiam. Seketika ia merasa telanjang di hadapan Serina. Namun, sebelum ia menjawab, suara gemerisik terdengar dari arah semak-semak.
Kaelen langsung bangkit, detak jantungnya berpacu liar, tangannya menggenggam pedang erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya, sementara napasnya berusaha tetap tenang meski dadanya berdebar kencang. Serina mengambil busurnya. Mereka bersiaga.
Dari balik semak, muncul seorang lelaki tua dengan pakaian compang-camping. Wajahnya dipenuhi luka, dan matanya menyiratkan ketakutan.
"Tolong... tolong aku..." suaranya serak.
Varrok segera terbangun, diikuti yang lain. Mereka mengelilingi lelaki itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Varrok tegas.
Orang tua itu gemetar. "Ordo Cahaya... mereka membakar desa kami... Mereka... mereka membantai semua orang... Aku... aku lari, tapi mereka mengejar..."
Kaelen merasakan kemarahan membakar dadanya. Kenangan pembantaian desanya sendiri kembali menghantui. Ia mengepalkan tinjunya.
"Kapan itu terjadi?" tanya Darek.
"Dua hari lalu... Mereka... dipimpin seseorang yang kuat... Aku... aku mendengar nama itu... Eryon..."
Semua terdiam. Nama itu lagi.
Varrok menghela napas berat. "Mereka bergerak lebih cepat dari yang kita duga."
Kaelen menatap lelaki tua itu. "Apa ada yang selamat?"
Orang tua itu menggeleng pelan. "Aku... tidak tahu... Aku hanya lari... Aku pengecut..."
Kaelen berlutut, menatapnya dalam-dalam. "Bukan pengecut. Kau hidup... Itu berarti kau bisa memberi tahu dunia tentang kekejaman mereka."
Mata lelaki itu berkaca-kaca. "Terima kasih... terima kasih..."
Varrok berdiri. "Kita harus bergerak lebih cepat. Jika Eryon benar-benar ada di sekitar sini, berarti kita semua dalam bahaya."
Malam itu, Kaelen kembali duduk di dekat api. Serina masih di sampingnya.
"Kau tahu, Kaelen," bisik Serina. "Aku takut... Bukan hanya pada musuh... Tapi juga pada apa yang akan kau lakukan demi melawan mereka."
Kaelen menoleh, menatap mata Serina yang penuh kekhawatiran. Ia ingin mengatakan bahwa ia juga takut—takut kehilangan dirinya sendiri. Tapi ia hanya berkata pelan, "Aku akan berjuang... untuk kalian". Tapi beban itu semakin berat, Kaelen merasakannya di setiap tarikan napas. Janji ini, janji untuk melindungi mereka semua, menjadi rantai yang menahan dirinya di tepi jurang. Ia takut suatu hari nanti, ia akan jatuh—dan menyeret semua orang yang ia cintai bersamanya.
Dalam hati, Kaelen tahu. Setiap langkah ke depan membawanya semakin dekat pada batas yang memisahkan dirinya dari kekuatan gelap itu. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia harus memilih: menjadi manusia... atau menjadi monster.