The Shattered Light-Chapter 30: – Duri dalam Bayangan
Chapter 30 - – Duri dalam Bayangan
Setelah meninggalkan perkemahan pagi itu, langkah Kaelen dan kelompoknya terasa semakin berat. Udara hutan yang biasanya sejuk kini terasa menyesakkan. Ketenangan semu menyelimuti pepohonan, namun di balik itu, mereka tahu bahaya mengintai di setiap sudut.
Varrok berjalan paling depan, matanya tajam meneliti setiap jejak di tanah. Serina di sisi kanan dengan busurnya siap, sementara Darek dan Aria menjaga bagian belakang. Kaelen berada di tengah, diapit oleh Lyra yang sesekali meliriknya dengan khawatir.
"Kita harus menghindari jalur terbuka. Ordo Cahaya pasti telah memperkuat pengawasan setelah peristiwa di pos perbatasan," bisik Varrok.
Kaelen mengangguk. Meski tubuhnya bergerak, pikirannya terpecah. Pertemuan dengan Eryon terus menghantuinya. Sosok itu seakan menjadi bayangan yang selalu membayang-bayangi setiap langkahnya. Rasa takut akan kekuatan gelap dalam dirinya yang semakin sulit dikendalikan juga makin menguat.
Saat mereka melewati celah bebatuan yang sempit, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari kejauhan. Semua berhenti seketika. Napas mereka tertahan.
Varrok mengangkat tangannya sebagai isyarat. Serina menarik tali busurnya, bersiap menghadapi apa pun yang muncul. Kaelen merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Dari balik semak-semak, seorang prajurit Ordo Cahaya muncul. Namun, ia bukan prajurit biasa. Armor hitam mengkilap dengan lambang matahari bersilang tergambar di dadanya. Wajahnya tertutup separuh topeng, tetapi sorot matanya penuh kebencian.
"Mereka di sini!" teriak prajurit itu.
Dalam sekejap, prajurit lain muncul dari berbagai arah. Kepungan terjadi.
"Bertempur!" seru Varrok.
Pertempuran pecah di tengah hutan. Serina melepaskan anak panah bertubi-tubi, menumbangkan dua prajurit yang bergerak mendekatinya. Varrok menangkis tebasan pedang lawan dengan kekuatan penuh, balasannya begitu cepat hingga musuh roboh dalam satu tebasan.
Kaelen bertarung melawan dua prajurit sekaligus. Pedangnya beradu, percikan api memancar. Setiap serangan yang ia lakukan terasa lebih berat. Dorongan kekuatan gelap itu kembali merayap dalam tubuhnya.
"Gunakan aku... Lindungi mereka... Akhiri semua ini dengan kekuatanku..." bisikan itu semakin jelas di telinganya.
Kaelen menggigit bibirnya. Ia menolak—tetapi lawannya semakin mendesak. Salah satu prajurit berhasil menggores bahunya. Darah mengucur.
Lyra berteriak, "Kaelen!"
Kaelen mengayunkan pedangnya, menangkis serangan berikutnya. Namun, ia tahu jika terus seperti ini, mereka akan kalah.
Ketika salah satu prajurit menghunuskan tombaknya tepat ke arah Lyra, waktu seolah melambat. Kaelen melihatnya dengan jelas. Jika ia tidak bertindak, Lyra akan mati.
Tanpa berpikir panjang, ia membiarkan kekuatan itu keluar.
Darahnya bergejolak. Mata Kaelen memancarkan cahaya merah gelap. Tubuhnya bergerak dengan kecepatan yang tak wajar. Ia menebas tombak prajurit itu, lalu menusuk dadanya dalam satu gerakan.
Prajurit lain terkejut, tetapi Kaelen sudah menerjang. Ia menebas satu demi satu, tanpa ampun. Dalam hitungan detik, hanya tubuh-tubuh tak bernyawa yang tersisa.
Napas Kaelen terengah. Tangannya gemetar. Rasa dingin menjalar ke kepalanya. Ia tahu, ada sesuatu yang hilang lagi.
Ia mencoba mengingat wajah ibunya. Namun kali ini, bukan hanya suaranya yang kabur—senyum ibunya pun mulai memudar. Ia mencoba mengingat momen terakhir ketika ibunya mengusap kepalanya dengan lembut, tetapi yang tersisa hanya kekosongan.
Kaelen terdiam. Dadanya sesak, seakan-akan sebagian dirinya kembali direnggut.
Serina berlari menghampirinya. "Kaelen... kau... kau pakai kekuatan itu lagi?" Suaranya penuh kecemasan bercampur ketakutan.
Lyra menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kau menyelamatkanku... tapi... apa yang kau rasakan?"
Kaelen menarik napas panjang, menahan air matanya. "Aku baik... tapi aku kehilangan sesuatu lagi."
Read lat𝙚st chapters at fɾeewebnoveℓ.co๓ Only.
Varrok menghampiri mereka. "Kita harus pergi. Suara pertempuran ini pasti terdengar jauh. Mereka akan datang lebih banyak."
Kaelen mengangguk. Mereka melanjutkan perjalanan dengan langkah berat. Namun, di dalam dirinya, Kaelen tahu ia semakin dekat dengan kehampaan. Setiap kemenangan yang diraihnya, selalu diiringi dengan kehilangan yang tak tergantikan.
Serina berjalan di belakang, menatap punggung Kaelen dengan perasaan campur aduk. Lyra sesekali menoleh ke arahnya, mencoba memastikan Kaelen baik-baik saja, meskipun hatinya sendiri dipenuhi ketakutan.
Dan di kejauhan, mata-mata Eryon mungkin sedang mengintai, menyaksikan kejatuhan Kaelen yang perlahan—sedikit demi sedikit, menuju kegelapan yang tak terhindarkan. Bagi Eryon, ini bukan sekadar pengintaian—ini adalah permainan panjang untuk menjatuhkan musuh tanpa harus mengangkat pedang sendiri.