The Shattered Light-Chapter 48: – Malam yang Mencekam

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 48 - – Malam yang Mencekam

Senja merayap perlahan, mewarnai langit dengan semburat merah darah yang perlahan ditelan gelap. Kabut tipis masih bergelayut di sekitar pos, menebarkan aura dingin dan suram. Udara lembap menusuk tulang, bercampur dengan aroma tanah basah dan sisa anyir darah yang tak sepenuhnya hilang. Para prajurit tampak sibuk memperkuat pagar kayu dan memeriksa senjata mereka. Wajah-wajah lelah namun penuh kewaspadaan tampak jelas di bawah sinar api unggun yang mulai dinyalakan. Kecemasan membebani udara, membuat setiap helaan napas terasa berat.

Kaelen berdiri di tengah lapangan pos, menatap api yang berkobar. Di sampingnya, Varrok tengah membalut luka Balrik dengan kain bersih.

"Rasanya luka ini membakar, tapi aku masih bisa berkelahi," ucap Balrik mencoba bercanda, meski wajahnya menahan sakit.

Varrok terkekeh pelan. "Itu semangat yang aku suka. Tapi jangan paksakan dirimu. Kau akan lebih berguna hidup."

Kaelen tersenyum kecil mendengar itu, tapi pikirannya melayang jauh. Hutan itu... bayangan-bayangan bermata hitam... Apa yang sebenarnya mereka hadapi? Bayangan pertempuran kemarin masih membekas di benaknya. Kepalanya dipenuhi ketakutan, bukan hanya tentang musuh yang tampak, tapi juga ancaman yang mungkin telah menyusup di antara mereka.

Serina dan Lyra mendekat membawa sup hangat.

"Makanlah. Kalian butuh tenaga," kata Serina lembut.

Lyra menyerahkan mangkuk kepada Kaelen. Pandangan mereka sempat bertemu, namun Lyra segera mengalihkan tatapannya. Ada ketegangan yang sulit dijelaskan di antara mereka sejak beberapa hari terakhir.

"Terima kasih," ucap Kaelen pelan.

Saat mereka duduk bersama di sekitar api, suasana sejenak terasa lebih hangat, meski kegelisahan tetap bersembunyi di dalam dada masing-masing.

This 𝓬ontent is taken from fгeewebnovёl.co𝙢.

Rhal datang dengan laporan.

"Penjagaan sudah diperketat di empat sudut. Tim patroli akan bergantian tiap dua jam. Tak ada yang bergerak sendirian. Kita siap kalau mereka datang malam ini."

Kaelen mengangguk. "Bagus. Tetap waspada. Mereka bukan musuh biasa. Kita tidak boleh menganggap remeh."

Varrok menambahkan, "Aku akan tetap berjaga sampai tengah malam. Setelah itu, kau bisa gantikan aku."

Kaelen hendak menjawab, namun tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari arah hutan. Semua terdiam.

Telinga Kaelen menajam. Tangannya perlahan meraih gagang pedang di pinggangnya. Lyra menelan ludah, Serina merapatkan jemarinya pada busur.

"Siapa di sana?!" teriak Varrok.

Tak ada jawaban. Hanya keheningan. Namun, langkah pelan terdengar mendekat. Napas beberapa prajurit mulai memburu.

"Angkat senjata!" perintah Kaelen dengan suara rendah namun tegas.

Para prajurit langsung bersiaga. Panah ditarik, pedang terhunus. Mata mereka mengawasi bayangan di antara pepohonan.

Dari kegelapan, muncul sosok lelaki tua dengan pakaian compang-camping. Wajahnya lusuh, tubuhnya gemetar.

"Tolong... tolong aku..." suaranya lirih, hampir seperti bisikan.

Kaelen memberi isyarat agar semua tetap waspada.

"Siapa kau? Dari mana asalmu?" tanyanya.

Lelaki tua itu tersungkur, napasnya tersengal. "Desaku... hancur... mereka... mereka datang dari bayangan... mata hitam... membunuh semua... aku satu-satunya yang selamat... tolong..."

Serina melangkah maju, ingin menolong, namun Kaelen menahan tangannya.

"Tunggu. Sesuatu tidak beres," bisik Kaelen.

Varrok maju mendekati lelaki itu. Matanya tajam, mengamati setiap gerak-gerik si pria tua.

"Apa kau diikuti?" tanya Varrok.

Lelaki itu menggeleng lemah. "Tidak... aku lari... aku pikir aku aman..."

Namun, tiba-tiba mata lelaki itu berubah. Hitam pekat. Senyum aneh terbentuk di bibirnya. Dengan gerakan yang tidak wajar, ia melompat ke arah Varrok.

"AWAS!" teriak Kaelen.

Varrok menghindar, pedangnya terhunus seketika. Lelaki itu mengeluarkan suara seperti geraman binatang. Tubuhnya bergerak kaku, namun cepat.

Prajurit-prajurit lain langsung mengelilingi mereka.

"Jangan biarkan dia mendekat!" teriak Rhal.

Panah dilepaskan. Satu menancap di bahu pria itu, namun ia tak berhenti. Pedang Varrok menebas lengan pria itu, namun ia tetap bergerak, seolah tak merasa sakit.

Kaelen melompat ke depan, menebas tepat di leher. Kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya, namun sebelum jatuh, bibirnya menyeringai.

"Kalian... semua... akan menjadi milik... cahaya palsu..." bisiknya sebelum tubuhnya ambruk.

Keheningan melanda pos. Hanya suara napas mereka yang tersisa.

Serina menutup mulutnya, ngeri. Lyra menggenggam busurnya erat, tangannya gemetar. Di kejauhan, burung hantu melengking, seperti pertanda buruk.

Varrok menatap Kaelen. "Ini lebih buruk dari yang kita kira. Mereka sudah menyusup sampai sini."

Kaelen mengangguk perlahan. "Kita harus bertahan... sampai akhir. Apa pun yang terjadi."

Serina dan Lyra saling pandang sejenak. Dalam mata mereka, terbersit rasa takut—bukan hanya terhadap musuh, tetapi juga terhadap apa yang perlahan mulai berubah dalam diri Kaelen.

Malam itu, penjagaan diperketat lebih dari sebelumnya. Namun, di dalam hati masing-masing, ketakutan telah tumbuh—bukan hanya pada musuh di luar, tapi juga pada kemungkinan bahwa kegelapan itu perlahan mulai merasuki jiwa mereka sendiri.