The Shattered Light-Chapter 67: – Penguasa Bayangan
Chapter 67 - – Penguasa Bayangan
Kaelen berdiri diam di tengah reruntuhan, pikirannya masih berputar setelah pertemuannya dengan Serina. Suara bisikan dari Jantung Kegelapan terus menggema, menyelinap ke dalam benaknya seperti racun yang perlahan merayap ke dalam kesadarannya.
'Kebenaran yang kau cari... akan menjadi beban yang tak bisa kau tanggung.'
Sosok bermata merah masih bersembunyi dalam bayangan, memperhatikan mereka. Udara semakin berat, dan kegelapan di sekitar mereka terasa seperti makhluk hidup yang siap menelan segalanya.
Varrok merapatkan cengkeramannya pada kapaknya, matanya tajam menyapu area sekitar. "Kita tidak bisa terus diam di sini. Apa pun yang mengintai kita, ia sedang menunggu kita melakukan kesalahan."
Lyra mengangguk setuju, meskipun tatapannya masih penuh dengan kecemasan saat melihat Kaelen. "Kita harus bergerak. Kau baik-baik saja?"
Kaelen menarik napas dalam dan mengangguk, meskipun rasa bimbang masih menghantuinya. "Ya. Kita lanjutkan."
Veylan melangkah maju, memimpin mereka lebih dalam ke dalam reruntuhan. "Tempat ini dulunya adalah benteng terakhir sebelum Jantung Kegelapan benar-benar menelan segalanya. Tapi sekarang, ia hanya menyisakan bayangan dari masa lalu." Ia berhenti sejenak dan menoleh ke Kaelen. "Dan mungkin, juga masa depan."
Mereka berjalan melewati jalan berbatu yang retak, diapit oleh bangunan yang telah roboh. Sesekali, bayangan bergerak di sudut-sudut gelap, tetapi tak ada yang muncul untuk menyerang mereka. Namun, suasana tegang semakin menekan, seolah sesuatu yang besar sedang menunggu mereka di depan.
Tiba-tiba, langkah mereka terhenti.
Di tengah lapangan terbuka, sebuah sosok berdiri dengan tenang. Jubahnya panjang dan hitam, berkibar pelan meskipun tak ada angin. Wajahnya tersembunyi di balik tudung, tetapi matanya bersinar merah darah, seperti bara yang menyala di dalam kegelapan.
"Kau akhirnya datang, Kaelen Draven."
Suara itu bergema di sekeliling mereka, dalam dan penuh kewibawaan. Namun, ada sesuatu yang familiar di dalamnya—sesuatu yang membuat darah Kaelen berdesir.
"Siapa kau?" Kaelen menegakkan tubuhnya, tangannya menggenggam pedangnya erat.
Sosok itu melangkah maju perlahan, dan saat ia mengangkat tangannya, bayangan di sekitar mereka mulai bergerak, merayap seperti makhluk hidup.
"Aku adalah apa yang akan kau jadi. Aku adalah takdir yang menunggumu."
Kaelen merasakan sesuatu yang dingin merambat ke punggungnya. Sosok ini bukan sekadar ilusi seperti yang lain. Ada sesuatu yang lebih nyata tentangnya—seolah ia benar-benar hidup.
Veylan menggeram. "Ini bukan sekadar ujian. Ini adalah penguasa tempat ini."
Sosok itu tersenyum tipis. "Penguasa? Tidak. Aku hanya penjaga. Dan tugasku adalah memastikan bahwa hanya mereka yang benar-benar layak yang bisa keluar dari tempat ini."
Lyra menaikkan busurnya. "Dan jika kami tidak lulus ujianmu?"
Sosok itu menoleh ke arahnya, dan seketika, bayangan di tanah melesat seperti tombak hitam, menyerang ke arahnya. Lyra melompat mundur, tetapi salah satu bayangan itu berhasil mencakar lengannya, membuatnya jatuh tersungkur.
"Lyra!" Kaelen bergerak cepat, menebas bayangan yang mendekatinya. Namun, saat pedangnya mengenai sosok itu, pedangnya hanya menembus udara kosong.
Sosok itu tertawa kecil. "Kau tidak bisa melawan bayangan dengan senjata biasa, Kaelen. Kau harus menerima apa yang telah menjadi bagian dari dirimu."
Kaelen menggertakkan giginya. Dia tahu maksud dari kata-kata itu. Jika dia ingin menang, dia harus menggunakan kekuatan kegelapannya sendiri.
Varrok melompat ke depan dengan kapaknya, mencoba menebas makhluk itu dari samping, tetapi sekali lagi, serangannya hanya menembus kehampaan. Veylan menatap Kaelen tajam. "Kau harus menghadapinya sendiri. Kami tidak bisa menyentuhnya."
Kaelen menatap sosok itu, hatinya dipenuhi oleh konflik. Jika dia menggunakan kekuatan itu, apa yang akan hilang darinya kali ini? Berapa banyak lagi yang harus dia korbankan?
Namun, ketika dia melihat Lyra yang masih terduduk dengan darah menetes dari lengannya, dia tahu dia tidak punya pilihan.
Kaelen menutup matanya, membiarkan dirinya merasakan energi gelap yang selalu mengintai di dalam dirinya. Bayangan di sekelilingnya mulai bergetar, seolah merespons panggilannya.
Sosok itu tersenyum puas. "Itu dia... sekarang tunjukkan padaku, apakah kau cukup kuat untuk mengendalikan kegelapan? Ataukah kegelapan yang akan mengendalikanmu?"
Kaelen membuka matanya, dan untuk sesaat, warna hitam pekat menggantikan irisnya. Bayangan di tanah merespons, membentuk bilah tajam yang bergerak mengikuti kehendaknya.
Tanpa ragu, dia menyerang.
Pedang bayangan bertemu dengan kegelapan lawannya, menciptakan dentuman yang mengguncang tanah di sekitar mereka. Sosok bermata merah itu menangkis serangan pertama dengan mudah, tetapi Kaelen terus menekan, setiap ayunan pedangnya semakin selaras dengan kekuatan barunya.
New novel 𝓬hapters are published on freёwebnoѵel.com.
Namun, dengan setiap serangan yang ia lancarkan, ada sesuatu yang perlahan terasa memudar dalam dirinya.
Ingatan. Emosi. Diri.
Lyra menyadari ini dan berteriak, "Kaelen! Jangan biarkan dia menguasaimu!"
Kaelen mengertakkan giginya. Dia harus mengendalikan kekuatan ini. Dia tidak boleh membiarkannya mengambil lebih dari yang seharusnya.
Sosok itu tertawa. "Kau merasa itu, bukan? Kehilangan? Itulah harga kekuatan, Kaelen. Jika kau ingin menang, kau harus mengorbankan segalanya."
Kaelen mengayunkan pedangnya ke arah sosok itu, tetapi di detik terakhir, dia menahan serangannya. Tidak. Ini bukan caranya.
Dia harus menemukan keseimbangan.
Alih-alih menyerang lagi, Kaelen memusatkan pikirannya, mengendalikan bayangan yang telah menjadi perpanjangan dirinya. Bukan dengan amarah, bukan dengan ketakutan—tetapi dengan kesadaran.
Bayangan itu mulai menyusut, tidak lagi bergerak liar, tetapi membentuk perisai yang melindunginya. Sosok lawannya tampak terkejut.
"Menarik...," gumamnya.
Kaelen menatapnya dengan penuh tekad. "Aku tidak akan menjadi seperti dirimu."
Seketika, energi di sekitar mereka meledak, dan sosok bermata merah itu mulai retak, seperti kaca yang pecah perlahan.
Sebelum dia menghilang, dia tersenyum. "Kita akan lihat... apakah kau benar-benar bisa lepas dari bayanganmu sendiri."
Lalu, dia lenyap.
Kaelen jatuh berlutut, tubuhnya lelah, tetapi kesadarannya tetap utuh. Lyra berlari menghampirinya, sementara Varrok dan Veylan mengawasi sekeliling dengan siaga.
Jantung Kegelapan masih belum selesai menguji mereka. Tetapi untuk pertama kalinya, Kaelen merasa ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar kekuatan.
Dirinya sendiri.