The Shattered Light-Chapter 70: – Jejak yang Hilang

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 70 - – Jejak yang Hilang

Kegelapan menyelimuti segalanya.

Kaelen merasakan tubuhnya melayang dalam kehampaan, terombang-ambing di antara kesadaran dan ketiadaan. Tidak ada suara, tidak ada cahaya, hanya sensasi seolah dirinya sedang ditarik ke dalam sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kegelapan biasa.

Kemudian, perlahan, ia mulai merasakan pijakan di bawah kakinya.

Ia membuka matanya.

Kaelen berdiri di tengah sebuah ruangan luas yang dikelilingi cermin-cermin tinggi. Namun, bayangannya tidak terpantul di dalamnya. Sebaliknya, cermin-cermin itu menampilkan pemandangan yang berbeda—fragmen-fragmen masa lalu yang telah lama hilang dari ingatannya.

Ia melangkah ke depan, mendekati salah satu cermin. Di dalamnya, ia melihat dirinya yang lebih muda, berlari melewati ladang hijau dengan tawa kecil menggema di udara. Sosok seorang wanita berdiri di kejauhan, tersenyum kepadanya.

"Elara..." bisiknya.

Ibunya.

Tetapi sebelum ia bisa mendekat, cermin itu bergetar, gambarnya berubah menjadi bayangan pekat, dan suara jeritan menggema di sekelilingnya. Kaelen tersentak mundur, dadanya naik turun. Ia tahu ini bukan sekadar ilusi. Ini adalah sesuatu yang telah lama ia lupakan.

"Kaelen."

Ia berbalik. Sosok Serina berdiri di tengah ruangan, wajahnya tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam—sebuah kesedihan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"Apa ini?" Kaelen bertanya, suaranya terdengar lebih kasar dari yang ia inginkan.

Serina melangkah mendekatinya. "Ini adalah tempat di mana ingatan yang hilang tersimpan. Setiap kali kau menggunakan kekuatan itu, potongan dirimu terserap ke dalam Jantung Kegelapan. Mereka tidak benar-benar hilang, Kaelen. Mereka hanya menunggu untuk ditemukan."

Kaelen mengepalkan tangannya. "Kalau begitu, kembalikan mereka padaku."

Serina menatapnya dalam-dalam. "Kau yakin siap menghadapi semuanya?"

Kaelen terdiam. Ia tahu bahwa tidak semua ingatan itu indah. Ada rasa sakit, kehilangan, dan keputusan-keputusan yang telah ia lupakan. Tetapi jika ia ingin terus maju, ia tidak bisa lagi membiarkan dirinya terpecah.

Th𝓮 most uptodate nov𝑒ls are publish𝒆d on ƒreewebηoveℓ.com.

"Aku siap."

Serina menghela napas dan mengangkat tangannya. Cahaya biru mulai berpendar di sekeliling mereka, dan satu per satu, cermin-cermin itu bergetar, bayangan di dalamnya bergerak dengan sendirinya.

Lalu, pecah.

Kilatan ingatan mengalir deras ke dalam kepala Kaelen. Ia melihat kembali wajah-wajah yang pernah hilang darinya—ayahnya, ibunya, Serina, rekan-rekan seperjuangannya. Ia merasakan kembali beban kehilangan, luka yang selama ini terkubur di dalam dirinya.

Namun, di antara semua itu, ada satu ingatan yang membuatnya terpaku.

Eryon.

Kaelen melihat dirinya berdiri di medan perang, pedangnya berlumuran darah, dan di hadapannya berdiri Eryon, mantan sahabatnya yang kini menjadi musuh. Mata Eryon dipenuhi kemarahan, tetapi ada sesuatu yang lain di baliknya—rasa sakit yang mendalam.

"Kau benar-benar tidak mengingatnya, bukan?" suara Serina berbisik di sampingnya.

Kaelen menatapnya. "Apa maksudmu?"

Serina mengulurkan tangannya ke arah salah satu cermin yang tersisa, dan gambarnya berubah. Kali ini, ia melihat dirinya dan Eryon, jauh sebelum perang dimulai. Mereka berlatih bersama, bertukar tawa, berbicara tentang masa depan yang akan mereka bangun.

"Kau dan dia pernah memiliki tujuan yang sama," kata Serina pelan. "Tetapi sesuatu berubah. Sesuatu yang membuatnya berbalik melawanmu."

Kaelen menggertakkan giginya. "Lalu kenapa aku melupakannya?"

Serina menatapnya penuh makna. "Karena kau memilih untuk melupakan."

Kaelen merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Jika itu benar, maka ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perang di antara mereka. Sesuatu yang telah ia tutupi dari dirinya sendiri.

Cahaya di ruangan itu mulai meredup. Serina melangkah mundur, ekspresinya mulai memudar.

"Kaelen, kau harus menemukan kebenaran sendiri. Tetapi ingatlah satu hal..."

Suaranya menjadi semakin samar.

"Jangan biarkan kegelapan mengambil lebih dari yang sudah ia ambil."

Lalu semuanya menghilang.

Kaelen membuka matanya dengan napas tersengal. Ia tidak lagi berada di ruangan cermin—sebaliknya, ia berdiri di depan pintu batu besar yang tampaknya menjadi akhir dari lorong yang mereka lalui sebelumnya. Udara di sekelilingnya terasa lebih berat, seolah tempat ini tahu bahwa ia telah mengambil sesuatu yang bukan miliknya.

Lyra, Varrok, dan Veylan menatapnya dengan ekspresi penuh tanya.

"Kaelen?" suara Lyra memanggil, nada khawatir dalam suaranya.

Kaelen mengangkat kepalanya, matanya kini lebih tenang, tetapi juga lebih tajam dari sebelumnya.

"Aku mengingatnya."

Veylan menatapnya dalam. "Apa yang kau ingat?"

Kaelen tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia melangkah maju dan meletakkan tangannya di pintu batu. Energi bergetar dari permukaannya, dan dengan suara gemuruh, pintu itu mulai terbuka perlahan. Dari baliknya, hembusan angin gelap menerpa wajah mereka, membawa serta bisikan samar yang sulit dimengerti.

Di dalamnya, hanya ada kegelapan.

Namun, kali ini, Kaelen tidak merasa takut.

Ia berbalik menatap rekan-rekannya dan mengangguk. "Ayo. Kita akhiri ini."

Mereka melangkah masuk bersama, menuju babak terakhir dari perjalanan mereka.